Kamis, 27 Mei 2021

Tantangan Pendidikan di Era 4.0


Tantangan pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0, merupakan materi yang disampaikan oleh Bapak Indra Charismiadji pada pelatihan MBPF malam ini. Bersyukur ikut menyimak materi yang begitu lugas dan jelas yang disampaikan oleh narasumber kali ini yang merupakan seorang praktisi, pemerhati dan juga pakar teknologi pendidikan.

Malam hari ini sangat berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya. Kalau lima pertemuan sebelumnya fokus pada materi tentang menulis, yang tentunya bertujuan untuk menggelorakan semangat menulis kepada setiap peserta. Tetapi kali ini narasumber yang merupakan sosok yang fenomenal di dalam dunia pendidikan kita membukakan wawasan para peserta terkait dengan "Pendidikan di Era 4.0", baik tantangan dan bagaimana cara yang harus dilakukan khususnya para guru dalam menyikapinya tantangan pada masa Revolusi Industri 4.0.

Mengawali pemaparannya, beliau membukakan tentang perubahan akibat perkembangan zaman yang terjadi. Dari masa ke masa akan terjadi perubahan, khususnya yang kita alami saat ini yang disebut dengan masa Revolusi Industri 4.0.  Teknologi saat ini telah melahirkan hal-hal yang baru yang tentunya belum pernah kita dengarkan sebelumnya. Seperti istilah: Big data, 3D printing, M2M, Advanced robotics, dan lain sebagainya menggambarkan perubahan yang tentunya menuntut dunia pendidikan dalam mempersiapkan peserta didiknya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan yang ada.


Beliau juga menyampaikan perubahan yang terjadi menghasilkan tantangan baru. Melalui kajian dari McKinsey Globa Institute pada tahun 2030 diperkirakan ada 800 juta manusia yang pekerjaannya akan digantikan oleh teknologi, robot, mesin komputer, atau kecerdasan buatan. Hal tersebut mengakibatkan sekitar 375 juta manusia akan beralih dan menekuni pekerjaan yang baru.  


Data Institute of Museum & Library Services mengungkapkan perbedaan pekerja pada abad 20 dengan abad 21. Ketika di abad 20 seseorang sangat jarang berganti pekerjaan, biasanya hanya berganti sekali seumur hidup, sehingga paling tidak seorang pekerja hanya menekuni maksimal 2 jenis pekerjaan. Sangat berbeda dengan kondisi pada abad 21, dimana rata-rata setiap pekerja harus menekuni 10 sampai 15 jenis pekerjaan, hal ini tentunya karena tuntutan perkembangan teknologi yang selalu dinamis.

Kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan juga sudah berubah, dulunya kompetisi hanya bersifat lokal tetapi sekarang kompetisi bersifat global atau mendunia. Siapa pun saat ini bisa menjadi pekerja di semua negara, asalkan memiliki kompetensi yang mumpuni. Dan hal yang harus menjadi perhatian serius dalam mempersipkan generasi yang akan datang adalah pernyataan dari World Economic Forum (2018) yang menyatakan bahwa "65% siswa yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar akan bekerja pada bidang yang hari ini belum tercipta".

Melihat data di atas muncul pertanyaan, seperti apa manusia yang akan mampu menghadapi perkembangan yang terjadi? Pastilah hanya manusia-manusia yang berkompeten atau yang disebut memiliki nalar dan keterampilan abad 21. Lantas siapa yang meyiapkan mereka untuk bisa menghadapinya? Tentunya beban berat itu ada di atas pundak guru sebagai profesi yang bertugas mempersiapkan SDM yang berkualitas.  


Untuk menghasilkan peserta didik yang bernalar dan berketerampilan abad 21, diharapkan dalam proses pendidikan tidak hanya menghasilkan peserta didik yang hanya mampu menghapal (C1), memahami (C2), dan mengaplikasikan (C3). Karena suatu saat manusia-manusia dengan kemampuan sebatas sampai C3 akan digantikan oleh komputer, bahkan komputer lebih pintar dari manusia kalau sebatas menghapal, memahami dan mengaplikasikan.

Kemampuan menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), sampai pada tahap mencipta (C6) itulah yang dibutuhkan pada diri peserta didik kita saat ini. Tentunya dengan terbiasa menganalisa, mengevaluai bahkan membuat sesuatu hal yang baru akan membuatnya menjadi pribadi yang unggul dan mampu bersaing. 

Dalam diri seseorang yang sudah memiliki kemampuan C4, C5, sampai C6 (dinamakan kemampuan berpikir tingkat tinggi) terdapat empat karakter yang tertanam dalam dirinya yakni: kritis dalam berpikir, kreatif, memiliki kemampuan berkolaborasi dan berkomunikasi. 

Memang dalam menerapkannya tidak semudah mengatakannya. Apalagi dengan perbedaan kualitas dan berbagai permasalahan yang ada di setiap satuan pendidikan di negara kita. Tetapi ini menjadi suatu tantangan besar bagi setiap pendidik yang menyatakan diri sebagai seorang guru profesional. Setidaknya setiap guru terlebih dahulu menerapkan dan memiliki memampuan bernalar dan berketerampilan abad 21 seperti yang telah diuraikan di atas, kemudian menularkannya kepada setiap peserta didiknya.

Satu hal sederhana tetapi memiliki makna yang dalam ketika Bapak narasumber memberikan contoh seorang guru yang selalu menyuruh anak didiknya untuk selalu belajar, pertanyaannya apakah guru tersebut sudah terlebih dahulu melakukannya dengan terus belajar untuk memperlengkapi dirinya untuk menjadi guru yang benar-benar guru? Mari kita renungkan bersama...

9 komentar:

  1. Hmmmm..... sebagai guru harus menjadi pembelajar sejati ya Pak Sahat?.... he he he . . .
    ijin share Pak Sahat, terima kasih ilmunya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar bunda,,, belajar sepanjang hayat...
      Siap Bunda....😀😀

      Hapus
    2. Benar bunda,,, belajar sepanjang hayat...
      Siap Bunda....😀😀

      Hapus
  2. Penjabaran resume yang runtut dan menarik pak. Luar biasa. Mantap

    BalasHapus
  3. Mantappp...hidup utk berkarya, menulis, menulis merebar inspirasi utk negeri

    BalasHapus

Postingan Terbaru

Di mana kebahagiaan itu berada?

Di mana kebahagiaan itu berada? Kadang lelah jiwa mencari Karena dahaga yang tak terobati Rasa haus akan kebahagiaan Yang diharapkan memberi...

Postingan Terpopuler dalam sebulan ini