Selasa, 24 November 2020

Mengabdi dengan Sepenuh hati

Menjadi guru

Menjadi seorang guru bukanlah cita-citaku diwaktu kecil. Saya masih ingat persis ketika masa SMP saya duduk-duduk di kebun kopi sambil melukis gambar rumah mewah dan beberapa mobil di atas tanah dengan sebuah ranting kayu (dulu setiap hari sepulang sekolah kami selalu pergi ke kebun kopi untuk membantu orang tua) sambil membayangkan suatu saat nanti saya akan menjadi seorang pengusaha yang kaya raya bertempat tinggal di kota besar, dengan berharap kelak memiliki rumah mewah dan beberapa mobil yang akan dibawa ketika pulang ke kampung halaman, yang tentunya hal itu akan memberikan kebanggaan kepada kedua orangtua yang memang kondisinya saat itu sangat sederhana.

Setelah lulus SMP, saya diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Medan tepatnya di STM N 2 Medan (sekarang SMKN 4 Medan), sayapun memilih jurusan Elektronika Komunikasi (yang akhirnya berubah menjadi Audio Video ketika kami kelas 3). Setelah tamat saya mencoba mengikuti ujian SMPTN dan akhirnya lulus di Jurusan Fisika non kependidikan UNIMED. Selama menempuh pendidikan S-1 saya sama sekali tidak terpikir akan menjadi seorang guru, saya berharap suatu saat akan bekerja di sebuah perusahaan bukan mengajar di sekolah. Ditengah kondisi dan keadaan akhirnya mendorong saya untuk mengajar les privat ke rumah-rumah karena ada tawaran dari teman-teman. “Apa salahnya saya lakukan, disamping mengisi waktu yang luang juga menghasilkan uang”, pikirku kala itu.

Setelah wisuda, saya tetap melanjutkan aktivitas mengajar les privat dan akhirnya bergabung menjadi tenaga pengajar sebuah lembaga bimbingan belajar dan sempat membuka dan mengelola bimbingan belajar sendiri selama 5 tahun. Setiap hari saya akhirnya menggeluti dunia mengajar dan suatu ketika ada lowongan untuk mengajar disekolah swasta saya mencobanya dan akhirnya diterima. Pada saat itulah saya kembali bergumul, apakah aku memang akan jadi guru ? Dengan pertimbangan dan perenungan yang dalam akhirnya kutetapkan hatiku mengambil AKTA IV Mengajar sebagai syarat untuk bisa mendapatkan NUPTK (Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan) karena sebelumnya saya bukan jurusan kependidikan.

Selama lima tahun mengajar di sekolah Swasta saya sangat menikmati proses yang saya jalani tersebut. Belajar dan terus belajar dari pengalaman – pengalaman sebelumnya dan dari rekan guru yang lain akhirnya tidak sulit bagiku untuk menekuni dan menjalankan profesi sebagai guru. Dan saya akhirnya yakin bahwa menjadi guru adalah panggilan hiduku.

 

PNS di daerah tertinggal

Pada Akhir Tahun 2013 ada penerimaan CPNS secara Nasional. Saya dan istri berdiskusi di daerah mana kami akan mengadu nasib (sekedar informasi istri saya juga serang guru bahasa inggris, sama seperti saya awalnya juga bukan dari kependidikan, kami bersama-sama mengambil Akta IV ketika kami menjalani masa berpacaran J).   Setelah memperhatikan formasi guru yang di terima diberbagai daerah akhirnya kami putuskan mengadu nasib di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta) daerah yang belum pernah sama sekali kami kunjungi, karena sesuai kesepatan bahwa kami akan mencoba didaerah yang kedua jurusan kami ada, supaya kami bisa tinggal bersama nantinya apabila diterima. Proses panjang mulai dari pendaftaran sampai ujian yang penuh dengan perjuangan, akhirnya hanya saya yang lulus.

Pada bulan September 2014 kami menerima SK penempatan dari BKD Paluta, di SK tersebut saya ditempatkan di SMPN 2 Dolok Sigompulon, Kec. Dolok Sigompulon, Kab. Padang Lawas Utara, Propinsi Sumatera Utara, sebuah sekolah tertinggal yang berada di Desa yang terletak dipegunungan bukit barisan pulau Sumatera. Pada saat itu saya sedikitpun tidak gentar karena saya sudah siapkan hati untuk ditempatkan dimana saja.

Akhirnya kami harus meninggalkan kota Medan dan terjun ke daerah yang sangat jauh dari kota dengan jalan yang masih parah, listrik yang sering padam dan belum ada sinyal internet, hanya bisa menelepon walaupun kadang dengan suara yang tidak jelas, itupun kalau listrik tidak mati (disana dulu listrik mati adalah suatu hal yang tidak asing lagi) dan harus berusaha mencari daerah yang tinggi supaya komunikasi dapat terdengar dengan jelas. Saking tertinggalnya, kami sering bercanda dengan teman-teman bahwa dari daerah itu hanya butuh ongkos Rp. 2000, - untuk sampai ke langit ☺☺☺.

 

Suka duka di sekolah desa

Sekolah tersebut berada di Desa Kuala simpang Kec. Dolok Sigompulon Kab. Paluta berjarak sekitar 100 km dari kota Gunung Tua yang merupakan ibukota Kabupaten Paluta, berbatasan langsung dengan kabupaten Labuhanbatu, yang mana akses jalan ke kota Sigambal (salah satu keluarahan di Kab.Labuhanbatu) yang merupakan jalan lintas Sumatera sejauh 34 km dengan kondisi jalan ketika itu masih sangat parah. Adapun Akses jalan dari sekolah ke Dinas Pendidikan kami harus berputar dari Kab. Labuhanbatu baru ke Kab.Labuhanbatu Selatan kemudian ke Gunung Tua sehingga memerlukan waktu paling tidak sekitar empat jam.

Sebagai pendatang, saya dan tiga teman lainnya (kami ada empat orang yang ditempatkan di sekolah tersebut) berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru, bertemu dengan guru-guru yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut walaupun dengan suku yang berbeda (termasuk bahasa yang berbeda) kami merasakan sambutan hangat dengan penuh kekeluargaan. Sehingga kami tidak merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan Bapak/ibu guru yang kami jumpai disana.

Dewan Guru SMPN 2 Dolok Sigompulon

Seminggu pertama di tempatkan saya bersama beberapa teman terpaksa harus menginap di Mes kantor Camat karena belum memiliki tempat tinggal, sedangkan keluarga belum saya bawa. Selanjutnya saya dan istri akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sigambal karena anak kami pada saat itu masih berusia 2 tahun dan juga karena berbagai pertimbangan lainnya, hal itu mengharuskan setiap hari saya pulang balik dengan perjalanan  dari rumah ke sekolah satu setengah jam lamanya dengan mengendarai sepeda motor dengan kondisi sebagian besar jalan masih belum diaspal sehingga kalau cuaca hujan akan licin dan kalau musim kemarau jalan akan berabu.

Enam bulan pertama saya ke sekolah selalu memakai sendal dan barulah ketika tiba di sekolah memakai sepatu yang memang sengaja saya tinggal disana. Tidak jarang juga saya memakai celana dua lapis untuk mengantisipasi celana yang sering kotor karena lumpur, dan ketika akan sampai di sekolah saya berhenti di kebun sawit dan membuka celana yang terluar yang sudah kotor tersebut dan memasukannya ke dalam tas.

Banyak suka duka yang saya rasakan ketika ditempatkan di sekolah tersebut. Pernah suatu ketika pulang sekolah saya berhenti di sebuah sungai hendak mencuci kaki yang kotor terkena lumpur, tetapi salah satu sendal saya tiba-tiba terbawa arus sungai yang cukup deras, akhirnya saya membuang yang satunya lagi dan membeli sendal jepit baru dari sebuah warung yang saya lewati. Ada juga momen saya terjatuh dari sepeda motor ke dalam lumpur yang cukup dalam pada saat hendak pulang sekolah, padahal saat itu saya membawa tas yang berisi berkas Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) yang mengakibatkan berkas tersebut basah dan berlumpur. Banyak lagi momen-momen yang saya alami di tempat tugas baru tersebut, termasuk juga ketika saya harus selalu men-servis dan mengganti rantai roda sepeda motor hampir setiap bulan, dan semua itu menjadi kenangan yang akan tetap saya syukuri sebagai guru yang harus mengabdi di daerah teringgal untuk mendidik anak bangsa.

  Setahun pertama disana saya berperan sebagai guru bidang studi IPA dan wali kelas. Dengan terus belajar serta berusaha untuk memberikan yang terbaik pada tahun ke tiga saya diberi tugas sebagai Pembantu Kepala Sekolah (PKS) bidang Kesiswaan dan juga sebagai instruktur Ekstrakurikuler Komputer. Selain itu banyak juga kegiatan di dinas kabupaten yang juga saya ikuti baik itu diklat, sosialasi, MGMP IPA dan sebagai tim penyusun soal Kabupaten walaupun dengan konsekuensi harus menginap di Ibukota Kabupaten selama kegiatan berlangsung.

Pembelajaran komputer yang sebelumnya belum pernah dilaksanakan dimulai dengan memasang instalasi listrik dari kantor guru ke semua ruang kelas (karena ruang kelas sebelumnya tidak teraliri arus listrik) yang saya kerjakan sendiri. Dengan teralirinya arus ke ruangan kamipun bisa melaksanakan Ekstrakurikuler di Ruangan kelas (karena belum ada Laboratorium Komputer). Anak-anak disuruh untuk membawa laptop sendiri ataupun mereka pinjam dari keluarga yang memilikinya, dalam belajar mereka ada yang berbagi satu laptop dua orang dengan tujuan paling tidak mereka mengenal dan mampu mengoperasikan aplikasi dasar dari komputer. Akhirnya Ekstrakurikuler terus berlangsung dengan belajar sekali dalam seminggu yang dibiayai oleh dana BOS.


Ekstrakurikuler Komputer Perdana di SMPN 2 Dolok Sigompulon

Dengan mengalirnya arus listrik ke ruang kelas akhirnya saya juga bisa menggunakan proyektor di dalam proses pembelajaran, anak-anak sangat senang karena pembelajaran yang tidak lagi hanya ceramah dan menulis di papan tulis tetapi sudah dengan gambar dan video yang mendukung materi pembelajaran yang ada. Bahkan saya beberapa kali memutar film tentang pendidikan karakter, video motivasi dan perjuangan pahlawan di dalam merebut kemerdekaan dengan harapan mereka memiliki karakter yang baik, juga semangat  untuk mengikuti pembelajaran dan mempunyai Jiwa Nasionalisme yang kuat.

Di dalam proses pembelajaran saya berusaha untuk menggunakan media langsung menggunakan objek aslinya, apalagi sebagai guru bidang studi IPA yang berkaitan dengan alam banyak media asli yang sangat mudah dijumpai, contohnya berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang langsung bisa diamati oleh para peserta didik.  Hal ini saya terapkan berkat ilmu dan pengalaman yang sangat luar biasa yang saya peroleh selama Pendidikan Profesi Guru (PPG) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) selama tiga bulan pada tahun 2018 yang lalu. Berilmu tetapi sangat low profile itulah yang menjadi kenangan tersendiri ketika mengingat dosen-dosen yang saya jumpai di kota pelajar tersebut. Sebanyak 28 orang kami guru IPA dari daerah khusus yang berasal dari berbagai pelosok di Pulau Sumatera dikumpulkan di kelas IPA Gurdasus. Pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan, kebersamaan dengan guru-guru hebat dalam menjalani sebulan Pendalaman Materi Guru Daerah Khusus (PDGK) di P4TK Matematika Yogyakarta dilanjutkan dengan sebulan PPG di UNY dan dua minggu lamanya saya PPL di SMPN 1 Seyegan Yogyakarta, sangat cukup bagiku untuk menyegarkan dan memperlengkapiku menjadi seorang guru yang bukan sekedar “guru biasa”.

Adapun kendala besar yang dihadapi di sekolah adalah dukungan masyarakat termasuk orang tua yang sangat rendah untuk pendidikan anaknya, kondisi orang tua siswa dengan latar pendidikan yang rendah menjadi penyebabnya sehingga belum menyadari sepenuhnya pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya. Tidak jarang ada anak yang tidak hadir dengan alasan membantu orang tua untuk panen sawit, menderes karet, panen di sawah bahkan menjaga adiknya karena orang tua harus bekerja.

Hal lain juga karena kondisi ekonomi masyarakat yang pada umumnya rendah dan rata-rata siswa sangat sulit untuk bisa menangkap dan memahami apa yang diajarkan, bisa dihitung dengan jari siswa yang mampu dan bisa mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Hal tersebut membuat saya berprinsip untuk lebih menekankan nilai-nilai karakter (moral dan ahklak) dan disiplin, karena dengan memiliki karakter yang baik dan berdisiplin saya yakin akan membuat mereka kelak menjadi orang-orang yang berhasil sesuai dengan profesinya masing-masing.

 

Bangga Menjadi Guru Desa

Ditengah segala keterbatasan, saya tetap bangga menjadi bagian dari sekolah tersebut karena ditengah segala kondisi tersebut, setidaknya sekolah yang sangat jauh dari ibu kota kabupaten ini tetap diperhitungkan dengan berbagai prestasi yang ditorehkan siswa dan juga gurunya. Pada tahun 2015 siswa kami Kian Ritonga berhasil meraih juara II OSN bidang studi IPA se-kabupaten, pada tahun 2018 Tim Sepak Bola Sekolah memperoleh  juara III Gala Siswa se-kabupaten, Pada Tahun 2017 Juara I perlombaan drama dan juara II Puisi se-kabupaten dan banyak penghargaan lainnya yang selalu diperoleh disetiap ada kegiatan O2SN dan pramuka tingkat kabupaten yang dilaksanakan. Sebagai gurupun saya meraih Juara I OGN IPA se-kabupaten tahun 2018 dan 2019. Semua prestasi tersebut menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi kami semua.


Piagam dan Trofi yang diperoleh dari Kegiatan Pramuka Se-Kabupaten

 

Sepenuh hati untuk mengabdi

Kondisi sekarang sudah semakin baik, akses jalan tinggal sekitar 5 km lagi yang belum diaspal dan sinyal telepon dan internet sudah bisa digunakan (walaupun masih belum stabil karena masih hilang ketika listrik padam). Saya menikmati mengajar disekolah tersebut dengan selalu berusaha memberikan yang terbaik. Saya sadar semuanya tidak akan sia-sia tetapi perjuangan belum usai, karena saya bermimpi suatu saat nanti sekolah ini akan maju dan berkualitas, tidak ketinggalan dengan sekolah di kota.

Orang  yang dulunya berasal dari desa yang bercita-cita menjadi pengusaha akhirnya memenuhi panggilan hidupnya untuk mengabdi sebagai guru desa di sebuah pegunungan yang jauh dari kota. Mendidik anak bangsa menjadi insan yang berbudi pekerti luhur dan mampu meraih cita-citanya merupakan hal yang tidak bisa dinilai dengan apapun juga. Tetap bersyukur dan terus berusaha berjuang untuk berkarya dengan mengabdi sepenuh hati...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Di mana kebahagiaan itu berada?

Di mana kebahagiaan itu berada? Kadang lelah jiwa mencari Karena dahaga yang tak terobati Rasa haus akan kebahagiaan Yang diharapkan memberi...

Postingan Terpopuler dalam sebulan ini