Menjadi guru
Menjadi seorang
guru bukanlah cita-citaku diwaktu kecil. Saya masih ingat persis ketika masa
SMP saya duduk-duduk di kebun kopi sambil melukis gambar rumah mewah dan beberapa mobil di atas
tanah dengan sebuah ranting kayu
(dulu setiap hari sepulang sekolah kami selalu pergi ke kebun kopi
untuk membantu orang tua)
sambil membayangkan suatu saat nanti saya akan menjadi seorang
pengusaha yang kaya raya bertempat tinggal di kota besar, dengan berharap kelak
memiliki rumah mewah dan beberapa mobil yang akan dibawa ketika pulang ke
kampung halaman, yang tentunya hal itu akan memberikan kebanggaan kepada kedua
orangtua yang memang kondisinya saat itu sangat sederhana.
Setelah lulus
SMP, saya diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Kota Medan
tepatnya di STM N 2 Medan (sekarang SMKN 4 Medan), sayapun memilih jurusan
Elektronika Komunikasi (yang akhirnya berubah menjadi Audio Video ketika kami kelas
3). Setelah tamat saya mencoba mengikuti
ujian SMPTN dan akhirnya lulus di Jurusan Fisika non kependidikan UNIMED. Selama
menempuh pendidikan S-1 saya sama sekali tidak terpikir akan menjadi seorang
guru, saya berharap suatu saat akan
bekerja di sebuah perusahaan bukan mengajar di sekolah. Ditengah kondisi dan
keadaan akhirnya mendorong saya untuk mengajar les privat ke rumah-rumah karena
ada tawaran dari teman-teman. “Apa
salahnya saya lakukan, disamping mengisi waktu yang luang juga menghasilkan
uang”,
pikirku kala itu.
Setelah wisuda,
saya tetap melanjutkan aktivitas mengajar les privat dan akhirnya bergabung
menjadi tenaga pengajar sebuah lembaga bimbingan belajar dan sempat membuka
dan mengelola bimbingan belajar sendiri selama 5 tahun. Setiap hari saya akhirnya
menggeluti dunia mengajar dan suatu ketika ada lowongan untuk mengajar
disekolah swasta saya mencobanya dan akhirnya diterima. Pada saat itulah saya
kembali bergumul, “apakah aku memang akan
jadi guru ?” Dengan pertimbangan
dan perenungan yang dalam akhirnya
kutetapkan hatiku mengambil AKTA IV Mengajar sebagai syarat untuk bisa
mendapatkan NUPTK (Nomor Unik
Pendidik dan Tenaga Kependidikan) karena sebelumnya saya bukan jurusan
kependidikan.
Selama lima
tahun mengajar di sekolah Swasta saya sangat menikmati proses yang saya jalani tersebut.
Belajar dan terus belajar dari pengalaman – pengalaman sebelumnya dan dari
rekan guru yang lain akhirnya tidak sulit bagiku untuk menekuni dan menjalankan
profesi sebagai guru. Dan saya akhirnya yakin bahwa menjadi guru adalah panggilan
hiduku.
PNS di daerah tertinggal
Pada Akhir Tahun 2013 ada penerimaan CPNS
secara Nasional. Saya dan istri berdiskusi di daerah mana kami akan mengadu
nasib (sekedar informasi istri saya juga
serang guru bahasa inggris, sama seperti saya awalnya
juga bukan dari kependidikan, kami bersama-sama mengambil Akta IV ketika kami menjalani
masa berpacaran J).
Setelah memperhatikan
formasi guru yang di terima diberbagai daerah akhirnya kami putuskan mengadu nasib di Kabupaten
Padang Lawas Utara (Paluta) daerah yang
belum pernah sama sekali kami kunjungi, karena sesuai
kesepatan bahwa kami akan mencoba didaerah yang kedua jurusan kami ada, supaya
kami bisa tinggal bersama nantinya apabila diterima. Proses panjang mulai dari
pendaftaran sampai ujian yang penuh dengan perjuangan, akhirnya hanya saya yang lulus.
Pada bulan September
2014 kami menerima SK penempatan dari BKD Paluta, di SK
tersebut saya ditempatkan di SMPN 2 Dolok Sigompulon,
Kec. Dolok Sigompulon, Kab. Padang Lawas Utara, Propinsi Sumatera Utara, sebuah
sekolah tertinggal yang berada di Desa yang terletak dipegunungan bukit barisan
pulau Sumatera. Pada saat itu saya sedikitpun tidak gentar karena saya sudah siapkan hati untuk
ditempatkan dimana saja.
Akhirnya kami harus
meninggalkan kota Medan dan terjun ke daerah yang sangat jauh dari kota dengan
jalan yang masih parah, listrik yang sering padam dan belum ada sinyal
internet, hanya bisa menelepon walaupun kadang
dengan suara yang tidak jelas, itupun kalau listrik
tidak mati (disana dulu listrik mati adalah suatu hal yang tidak asing lagi)
dan harus berusaha mencari daerah yang tinggi supaya komunikasi dapat terdengar
dengan jelas. Saking tertinggalnya, kami sering bercanda dengan teman-teman bahwa dari daerah itu hanya butuh ongkos
Rp. 2000, - untuk sampai ke langit ☺☺☺.
Suka duka di sekolah desa
Sekolah tersebut berada
di Desa Kuala simpang Kec. Dolok Sigompulon Kab. Paluta berjarak sekitar 100 km dari kota Gunung
Tua yang merupakan ibukota Kabupaten Paluta, berbatasan langsung dengan
kabupaten Labuhanbatu, yang mana akses jalan ke kota Sigambal (salah satu
keluarahan di Kab.Labuhanbatu) yang merupakan jalan lintas Sumatera sejauh 34 km dengan
kondisi jalan ketika itu masih sangat parah. Adapun Akses jalan dari sekolah ke
Dinas Pendidikan kami harus berputar dari Kab. Labuhanbatu baru ke Kab.Labuhanbatu Selatan kemudian
ke Gunung Tua sehingga memerlukan waktu paling tidak sekitar empat jam.
Sebagai pendatang, saya dan tiga teman lainnya (kami ada empat orang yang
ditempatkan di sekolah tersebut) berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru, bertemu dengan guru-guru yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut
walaupun dengan suku yang berbeda (termasuk bahasa
yang berbeda) kami merasakan sambutan hangat
dengan penuh kekeluargaan. Sehingga kami tidak merasa kesulitan untuk menyesuaikan
diri dengan Bapak/ibu guru yang kami jumpai disana.
Dewan Guru SMPN 2 Dolok Sigompulon
Seminggu pertama di tempatkan saya bersama beberapa teman terpaksa harus menginap di Mes kantor Camat karena belum memiliki tempat tinggal, sedangkan keluarga belum saya bawa. Selanjutnya saya dan istri akhirnya memutuskan untuk tinggal di Sigambal karena anak kami pada saat itu masih berusia 2 tahun dan juga karena berbagai pertimbangan lainnya, hal itu mengharuskan setiap hari saya pulang balik dengan perjalanan dari rumah ke sekolah satu setengah jam lamanya dengan mengendarai sepeda motor dengan kondisi sebagian besar jalan masih belum diaspal sehingga kalau cuaca hujan akan licin dan kalau musim kemarau jalan akan berabu.
Enam bulan pertama saya
ke sekolah selalu memakai sendal dan barulah ketika tiba di sekolah memakai
sepatu yang memang sengaja saya tinggal disana. Tidak jarang juga saya memakai celana
dua lapis untuk mengantisipasi
celana yang sering kotor karena lumpur, dan ketika akan sampai di sekolah saya berhenti di kebun sawit dan
membuka celana yang terluar yang sudah kotor tersebut dan memasukannya ke dalam tas.
Banyak suka duka yang
saya rasakan ketika ditempatkan di sekolah tersebut. Pernah suatu ketika pulang
sekolah saya berhenti di sebuah sungai hendak mencuci kaki yang kotor terkena lumpur, tetapi salah satu
sendal saya tiba-tiba terbawa arus sungai yang cukup deras, akhirnya
saya membuang yang satunya lagi dan membeli sendal jepit baru dari sebuah
warung yang saya lewati. Ada juga momen saya terjatuh dari sepeda motor
ke dalam lumpur yang cukup dalam pada saat hendak pulang sekolah, padahal saat itu saya membawa tas yang berisi berkas Sasaran Kinerja
Pegawai (SKP) yang mengakibatkan berkas tersebut basah dan berlumpur. Banyak
lagi momen-momen yang saya alami di tempat tugas baru tersebut, termasuk juga
ketika saya harus selalu men-servis dan mengganti rantai roda sepeda motor hampir setiap bulan, dan semua itu menjadi kenangan
yang akan tetap saya syukuri
sebagai guru yang harus mengabdi di daerah teringgal untuk mendidik anak
bangsa.
Setahun pertama disana saya berperan sebagai guru bidang studi IPA dan wali kelas. Dengan terus belajar serta berusaha untuk memberikan yang terbaik pada tahun ke tiga saya
diberi tugas sebagai Pembantu Kepala
Sekolah (PKS) bidang Kesiswaan dan juga sebagai instruktur Ekstrakurikuler
Komputer. Selain itu banyak juga kegiatan di dinas kabupaten yang juga saya ikuti baik itu diklat,
sosialasi, MGMP IPA dan sebagai tim penyusun soal Kabupaten walaupun dengan konsekuensi harus menginap di Ibukota
Kabupaten selama kegiatan berlangsung.
Pembelajaran komputer yang sebelumnya belum pernah dilaksanakan dimulai dengan memasang instalasi listrik dari kantor guru ke semua ruang kelas (karena ruang kelas sebelumnya tidak teraliri arus listrik) yang saya kerjakan sendiri. Dengan teralirinya arus ke ruangan kamipun bisa melaksanakan Ekstrakurikuler di Ruangan kelas (karena belum ada Laboratorium Komputer). Anak-anak disuruh untuk membawa laptop sendiri ataupun mereka pinjam dari keluarga yang memilikinya, dalam belajar mereka ada yang berbagi satu laptop dua orang dengan tujuan paling tidak mereka mengenal dan mampu mengoperasikan aplikasi dasar dari komputer. Akhirnya Ekstrakurikuler terus berlangsung dengan belajar sekali dalam seminggu yang dibiayai oleh dana BOS.
Ekstrakurikuler Komputer Perdana di SMPN 2 Dolok Sigompulon
Dengan mengalirnya arus listrik
ke ruang kelas akhirnya saya juga bisa menggunakan proyektor di dalam proses pembelajaran, anak-anak
sangat senang karena pembelajaran yang tidak lagi hanya ceramah dan menulis di
papan tulis tetapi sudah dengan gambar dan video yang mendukung materi
pembelajaran yang ada. Bahkan saya beberapa kali memutar film tentang pendidikan karakter, video motivasi dan
perjuangan pahlawan di dalam merebut kemerdekaan dengan harapan mereka memiliki
karakter yang baik, juga semangat untuk mengikuti
pembelajaran dan mempunyai Jiwa Nasionalisme yang kuat.
Di dalam proses pembelajaran saya berusaha untuk menggunakan media langsung
menggunakan objek aslinya, apalagi sebagai guru bidang studi IPA yang berkaitan
dengan alam banyak media asli yang sangat mudah dijumpai, contohnya berbagai
jenis tumbuh-tumbuhan yang langsung bisa diamati oleh para peserta didik. Hal ini saya terapkan berkat ilmu dan
pengalaman yang sangat luar biasa yang saya peroleh selama Pendidikan Profesi
Guru (PPG) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) selama tiga bulan pada tahun
2018 yang lalu. Berilmu tetapi sangat low
profile itulah yang menjadi kenangan tersendiri ketika mengingat
dosen-dosen yang saya jumpai di kota pelajar tersebut. Sebanyak 28 orang kami
guru IPA dari daerah khusus yang berasal dari berbagai pelosok di Pulau
Sumatera dikumpulkan di kelas IPA Gurdasus. Pengalaman yang tidak akan pernah
saya lupakan, kebersamaan dengan guru-guru hebat dalam menjalani sebulan
Pendalaman Materi Guru Daerah Khusus (PDGK) di P4TK Matematika Yogyakarta
dilanjutkan dengan sebulan PPG di UNY dan dua minggu lamanya saya PPL di SMPN 1
Seyegan Yogyakarta, sangat cukup bagiku untuk menyegarkan dan memperlengkapiku
menjadi seorang guru yang bukan sekedar “guru biasa”.
Adapun kendala besar yang dihadapi di sekolah
adalah dukungan masyarakat termasuk orang tua yang sangat rendah untuk pendidikan anaknya, kondisi orang tua
siswa dengan latar pendidikan yang rendah menjadi penyebabnya sehingga belum
menyadari sepenuhnya pentingnya pendidikan untuk masa depan anaknya. Tidak
jarang ada anak yang tidak hadir dengan alasan membantu orang tua untuk panen
sawit, menderes karet, panen di sawah bahkan menjaga adiknya karena orang tua
harus bekerja.
Hal lain juga karena
kondisi ekonomi masyarakat yang pada umumnya rendah dan rata-rata siswa sangat sulit untuk
bisa menangkap dan memahami apa yang diajarkan, bisa dihitung dengan jari siswa yang mampu dan bisa mengikuti proses
pembelajaran dengan baik. Hal tersebut membuat
saya berprinsip untuk lebih menekankan nilai-nilai karakter (moral dan ahklak)
dan disiplin, karena dengan memiliki karakter
yang baik dan berdisiplin saya yakin akan membuat mereka kelak menjadi
orang-orang yang berhasil sesuai dengan profesinya masing-masing.
Bangga Menjadi
Guru Desa
Ditengah segala keterbatasan, saya tetap bangga menjadi bagian dari sekolah
tersebut karena ditengah segala kondisi tersebut, setidaknya sekolah yang
sangat jauh dari ibu kota kabupaten ini tetap diperhitungkan dengan berbagai
prestasi yang ditorehkan siswa dan juga gurunya. Pada tahun 2015 siswa kami
Kian Ritonga berhasil meraih juara II OSN bidang studi IPA se-kabupaten, pada
tahun 2018 Tim Sepak Bola Sekolah memperoleh
juara III Gala Siswa se-kabupaten, Pada Tahun 2017 Juara I perlombaan
drama dan juara II Puisi se-kabupaten dan banyak penghargaan lainnya yang
selalu diperoleh disetiap ada kegiatan O2SN dan pramuka tingkat kabupaten yang
dilaksanakan. Sebagai gurupun saya meraih Juara I OGN IPA se-kabupaten tahun
2018 dan 2019. Semua prestasi tersebut menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi
kami semua.
Sepenuh hati untuk
mengabdi
Orang yang dulunya berasal dari desa yang
bercita-cita menjadi pengusaha akhirnya memenuhi panggilan hidupnya untuk
mengabdi sebagai guru desa di sebuah
pegunungan yang jauh dari kota. Mendidik anak bangsa menjadi insan yang berbudi pekerti luhur dan mampu
meraih cita-citanya merupakan hal yang tidak bisa dinilai dengan apapun juga. Tetap
bersyukur dan terus berusaha berjuang
untuk
berkarya dengan mengabdi sepenuh hati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar